Suamiku Bukan Donald Trumph

Tidak selamanya ibu bekerja karena kehendak mereka


Hari sudah menjelang maghrib ketika saya naik angkot 16B di pinggir rel kereta stasiun Tambun, seusai acara Allianz bersama Indscript di Simatupang. Seorang ibu memaksa naik ke dalam angkot. Padahal asli, si angkot sudah sangat full; istilah kata, masuk kedelai, bakal keluar tempe.

Beberapa penumpang berusaha mencegah si Ibu dengan mengatakan bahwa sudah tidak ada tempat duduk lagi. Tapi si Ibu keukeh tetep naik, alasannya ia punya seorang anak kecil yang harus segera ia susui.

Walhasil, si ibu  berdiri setengah bungkuk diatasas speaker dipojokan angkot.
Ketika diluar sana begitu banyak sindir-sindiran dan saling serang tentang siapa yang lebih baik diantara ibu bekerja dan ibu yang tinggal dirumah, saya melihat semangat dan tanggung jawab dimata ibu itu.

Sempat ngobrol kecil dengan Beliau ketika tanpa sengaja tangannya berpegangan pada pundak saya karena angkot yang sedikit ngebut.
“Maaf, Bu, ga sengaja. Saya harus segera pulang nyusuin anak.”
“Iya, Bu ga papa.”

Tanpa diminta, ia pun bercerita bahwa sesungguhnya ia juga tidak tega meninggalkan anaknya yang masih dalam masa menyusui untuk bekerja di luar rumah.Tapi apa daya, penghasilan suaminya belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

“Anak kan nanti juga butuh sekolah ya, Bu, kami juga butuh nabung untuk keperluan-keperluan mendadak.”
Ia pun melanjutkan, sebetulnya hasil dari ia bekerja setelah dipotong ini itu juga tidak banyak. Tapi membuat mereka memiliki tabungan untuk masa depan si Kecil.

Saat itu saya hanya mengiyakan apa yang si Ibu katakan. Meski mungkin, sebagai ibu yang bekerja dirumah, bisa saja menyanggahnya dengan mengatakan, “mengapa tidak buka usaha aja dirumah”, “mengapa tidak meningkatkan ketrampilan sehingga bisa menghasilkan tanpa harus meniggalkan anak”, “apakah nilai tabungan yang menurutnya “tak seberapa” itu layak untuk dibayar dengan ketidak hadirannya disamping si kecil?”

Semua bisa saja saya tanyakan atau nyatakan; tapi saya juga sadar jawabannya seringkali tak semudah itu.
Bisa jadi hendak membuka usaha namun belum tentu ada modal. Kalo harus belajar ketrampilan masihlah butuh waktu. Padahal solusi kebutuhan seringkali tidak bisa menunggu.

Atau mungkin saya bisa menyanggah, “mengapa bukan suaminya saja yang pergi mencari tambahan?” Tapi lagi-lagi, saya sadar bahwa jawabannya juga tidak semudah itu.

Tidak semua laki-laki diberi talent dan pemikiran seperti Donald Trumph. Atau setidaknya mendapat inspirasi agar bisa mencari penghasilan seperti Amancio Ortega. Terima atau tidak terima, memang begitulah keseimbangan hidup.

Jadi, saat itu, saya hanya memilih hanya mengiyakan semua perkataan si Ibu.
Berharap peng-iya-an saya bisa sedikit menghiburnya. Siapa tahu ia juga adalah salah satu dari korban adu diskusi siapa yang terbaik antara ibu bekerja dan ibu dirumah. 

Leave a Comment

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *