Lari dari Kenyataan dengan Meninggikan Diri

lari dari kenyataan dengan menjadi sombong

Last Updated on: 26th July 2023, 07:50 pm

Saat membaca komentar seorang teman tentang “lari dari kenyataan”, saya tiba-tiba teringat dengan buku Mark Manson yang berjudul “Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat“.

Dalam bab kedua tersebut, Manson menulis tentang kebahagiaan itu berasal dari menyelesaikan masalah. Menurutnya, manusia punya kecenderungan untuk lari dari masalah dengan melakukan penyangkalan atau memiliki keyakinan bahwa tidak ada yang bisa mereka lakukan ketika masalah datang. Alih-alih mereka memilih menyalahkan orang lain atau situasi di luar diri mereka.

Sebagian mungkin akan merasa bahwa yang mereka katakan adalah fakta; namun menyalahkan orang lain sebetulnya adalah sebuah bentuk untuk membuat mereka merasa nyaman sementara.

Apa yang ditulis Mark manson tersebut membuat saya teringat dengan salah seorang kenalan; yang baginya, setiap masalah adalah rumit. Apapun yang ia lihat, selalu negatif. Dari hal yang sepele, dan nggak penting pun, semua terlihat negatif.

Misalnya, kubu Prabowo yang nggak becus mendukung kampanye (doi kebetulan fans berat pak Prabowo), atau sebuah stasiun swasta yang terang-terangan mendukung paslon tertentu.

Tidak hanya itu, bahkan dia bisa saja melihat sisi negatif reality show, dengan berkomentar “Sudahlah, jadi orang miskin mah nggak perlu kebanyakan keinginan” (sayangnya saya tidak tahu reality show apa yang sedang ia tonton saat itu).

Orangnya sebetulnya hobi bercanda, meski candaannya juga kadang mengomentari sisi buruk orang lain juga. Dulu kami juga selalu tertawa bersama, tapi entah kenapa sekarang terasa garing banget. Mungkin karena mengulang candaan itu-itu saja, jadi rasanya kok sudah nyebelin, ya?

Awalnya saya pikir dia memang tipe open minded, karena temannya banyak, dan banyak orang suka berteman dengannya. Tapi semakin saya mengenalnya, kok saya merasa bahwa dunia hanya benar jika dilihat dari kaca mata dia saja.

Sayangnya lagi, setiap kali diajak ngobrolin masalah yang serius, atau membutuhkan pemikiran dan rencana jangka panjang, apalagi yang butuh komitmen, pasti jawabannya hanya satu, “Ah, pusing mikirnya.

Kalau sudah sampai perkataan itu, obrolan kami pun akan berubah menjadi suara jangkrik, “krik, krik.”

Karena itu ketika Mark Manson membahasnya dalam buku “Sebuah Seni Bersikap Masa Bodoh, saya pun otomatis teringat padanya.

Menurut Mark Manson, tipe seperti ini akan sulit untuk meraih kebahagiaan. Karena dia suka sekali melakukan penyangkalan, tidak bersedia untuk menghadapi masalah. Padahal kunci dari kebahagiaan sebenarnya sederhana saja, selesaikan masalah.

Gambaran mudahnya seperti ini; kalau lagi weekend, kita sering malas bangun dan masak kan? Nggak tahu ya, kenapa, kalau weekend itu bawaannya kok, pengen gegoleran aja. Kerja keras kita enam hari seminggu itu rasanya sudah bisa dijadikan alasan kalau kita berhak dapat previlege tidur lebih lama.

Padahal ya tahu, kalau nggak bangun, nggak lama lagi si kecil udah pasti teriak-teriak minta makan.  Belum lagi perut yang akan melilit karena asam lambung yang menggerus-nggerus.

Menurut Mark, perasaan “kita berhak” itu ada karena kita menilai emosi diri kita terlalu tinggi. 

Emosi hanya sebagian dari persamaan dalam kehidupan kita, bukan seluruhnya. Hanya karena sesuatu itu terasa enak, tidak berarti itu baik. (hal. 40).

Ya seperti masalah bangun pagi itu. Karena kita sudah bekerja keras, maka kita kemudian merasa berhak untuk mendapatkan lebih. Padahal kalau mencoba menghadapi rasa malas itu dengan bergerak, bangun, dan pergi ke dapur walau dengan menyeret kaki; dijamin perut Anda tidak akan melilit, si Kecil pun tidak akan berteriak-teriak kelaparan.

Tidak, si Mark tidak menyuruh kita untuk menekan perasaan malas itu, akui saja, tapi juga hadapi, kalau selama Anda butuh makan, maka Anda perlu bangun untuk memasak makanan. 😁

Toh, rasa malas itu tidak akan lama bertahan begitu perut kita kenyang, atau anak Anda berteriak kegirangan karena nasi goreng lezat Anda.

Menghindari dari masalah, memilih mengerjakanya nanti, hanya akan membuat kita bahagia sesaat, tapi tidak pernah menyelesaikan apapun. Karena sesungguhnya, “apa yang kita dapatkan, berasal dari apa yang kita lepaskan.”

Jadi, bagaimana dengan Sahabat RPB, masihkah terbersit keinginan untuk lari dari kenyataan?

Show 2 Comments

2 Comments

  1. Wah, orangnya pesimis melulu ya, Mbak..

    Aku kadang kayak gitu sih. Tapi, i know the way to be happy. Hehe.. Be thankful and grateful in every single second, walau iya, ada kalanya perasaan sedih melanda.

    By the way, aku suka kalimat penutupnya. Apa yang kita dapatkan, berasal dari apa yang kita lepaskan.

  2. Iya, mbak. Berhadapan dengannya harus punya stock positif yang buanyak, agar tetap waras ha ha ha

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *