Mengawali bulan September ini saya ingin berbagi isi salah satu buku yang akhir-akhir ini sering saya baca, “Menguak Konspirasi Global di Teluk Jakarta”. Topiknya agak berat, dan setiap membacanya emosi saya seperti. sedih karena Ibu Pertiwi ini ternyata sedang menyimpan kisah yang sangat menyedihkan.
buku ini terdiri dari 5 bab dan bab pertama bercerita tentang latar belakang berdirinya Pelabuhan Tanjung Priok, hingga Bagaimana Pelabuhan ini menjadi salah satu aset yang bisa saja beralih ke tangan asing jika tidak segera diselamatkan.
Tanjung Priok, anak kandung sejarah
Bagi Indonesia, terutama masyarakat yang berada di wilayah Jakarta Utara, Tanjung Priok adalah salah satu saksi sejarah negeri ini. Belanda mengembangkan kawasan ini sebagai pelabuhan, menggantikan Pelabuhan Sunda Kelapa di akhir abad ke 19.
bermula dari diambil alihnya kepemilikan tanah daripada tuan tanah yang ada di Tanjung Priok oleh pemerintah Hindia Belanda. Pelabuhan ini kemudian disewakan kepada KPM sebuah perusahaan pelayaran asal Amsterdam selama 75 tahun.
Sejak pertama didirikan, Pelabuhan Tanjung Priok telah ramai melayani ratusan kapal. Dan untuk menunjang kelancaran operasi di Pelabuhan Tanjung Priuk, dibangun pula jalur kereta api yang menghubungkan Pelabuhan dengan kota lama Batavia.
Usai proklamasi kemerdekaan, Pelabuhan Tanjung Priok sempat kembali ke tangan pemerintah Indonesia. Tapi dengan adanya perjanjian Konferensi Meja Bundar, Pelabuhan ini kembali ke tangan KPM.
Syukurlah di tahun 1952 Pelabuhan ini kembali benar-benar menjadi milik bangsa Indonesia.
di saat itu pengelolaan Pelabuhan Tanjung Priok berada di tangan Kementerian Perhubungan jawatan laut, tapi pelaksanaannya dilakukan oleh perusahaan negara. Mulai periode 1964-1969, kegiatan operasional pelabuhan dikoordinasikan oleh port authority.
Cikal bakal Pelindo II
Perum Pelabuhan II yang kemudian berubah nama menjadi PT Pelabuhan Indonesia II/ Pelindo II, merupakan salah satu Perum yang mengelola pelabuhan milik pemerintah. Saat itu Pelindo II mengoperasikan 12 pelabuhan di Indonesia.
Pelindo II tidak hanya mengelola pelabuhan, tapi juga memiliki beberapa anak cabang perusahaan; salah satunya adalah PT Jakarta International Container Terminal (PT JTC) dan Terminal Peti Kemas Koja atau TPK Koja.
Ketika Indonesia mengalami krisis moneter tahun 1997, Presiden Soeharto sebagai kepala pemerintahan terpaksa meminta bantuan IMF untuk menyelesaikan krisis ekonomi yang terjadi.
Sebagai salah satu hasil dari perjanjian pinjaman tersebut sejak tahun 1999, 51% saham PT JICT dikuasai oleh Hutchison Port Jakarta (HPJ), yang semula bernama Grossbeak Pte. Ltd. Begitu juga dengan saham TPK Koja, 49% juga dikuasai oleh Hutchison Port Indonesia (HPI) anak perusahaan Hutchison Port Holding (HPH), yang berbasis di Hongkong.
JICT dari era reformasi hingga kini
perjanjian penguasaan saham dan pengelolaan PT JICT tersebut berlangsung selama 20 tahun. Selama kurun waktu 1999 hingga saat ini, PT JICT telah berkembang dengan pesat. Banyak prestasi yang telah diukir salah satunya adalah penghargaan sebagai pengelolaan Pelabuhan terbaik empat kali berturut-turut.
Namun di balik gemilang pencapaian tersebut, lagi-lagi PT JICT juga menyimpan Cerita yang mencengangkan.
Di saat penandatanganan kontrak dengan HPH, ternyata diadakan juga penandatanganan dengan Seaport Management BV, dalam hal akses atas keterampilan serta jasa teknik selama 20 tahun.
dalam perjanjian tersebut PT JICT akan mendapatkan akses akses teknologi dalam bidang rancang Engineering, pembangunan dan pengoperasian peti kemas, serta prasarana terkait.
Hanya saja, tim pemeriksa KPP Besar Dua, Direktorat Jenderal Pajak, menemukan jika BPJS tidak dapat memberikan bukti adanya pembebanan biaya teknikal know-how dan services. Kuat dugaan jika Seaport Management BV merupakan perusahaan fiktif buatan HPH.
Penyimpangan yang terjadi di PT JICT dan tapak tapak kecil SP JICT
buku ini ditulis karena keprihatinan atas banyaknya penyimpangan yang terjadi di PT JICT. Selain tentang Seaport Management BV, ternyata saat ini kontrak dengan hpht lah diperpanjang, meski masa berakhirnya kontrak awal masih tahun depan (tahun 2019).
Selain banyak kejanggalan, perpanjangan kontrak ini juga dinilai cacat hukum dan terindikasi telah merugikan negara. Bahkan Pansus Pelindo telah merekomendasikan agar kontrak perpanjangan tersebut dibatalkan. Pansus juga merekomendasikan kepada presiden untuk meninjau kembali investasi asing yang berpotensi merugikan negara.
Namun perjuangan mengungkap tabir konspirasi ini ternyata tidak mudah. Perjuangan kawan-kawan SP JICT sejak tahun 2012 adalah buktinya.
Aspirasi yang mereka Suarakan dijawab dengan tuduhan sebagai musuh negara, karena menolak perpanjangan kontrak PT JICT dengan HPH.
Meskipun mendapat tuduhan seperti itu, SP JICT tidak gentar. Kawan-kawan kita ini terus berjuang melalui Wakil Rakyat, mendekati tokoh nasional, dan melaporkan dugaan pelanggaran hukum direksi Pelindo II ke badan reserse kriminal.
SP JICT juga menggunakan kekuatan media sosial untuk menyebarkan informasi tentang apa yang sebenarnya terjadi di pelabuhan ujung utara Jakarta tersebut.
Bagaimana kelanjutan kasusnya, dan bagaimana detil kasus pelanggaran kontrak; tunggu di artikel selanjutnya ya. 😊
Wah terimakasih untuk informasi sejarahnya, sekarang saya jadi tau sejarah tanjung priok
sama-sama mbak-e… bantu doa ya, semoga masalah JICT ini cepat selesai, dan aset negara kita nggak sampai lepas ke tangan asing