Poin penting dalam mengajarkan tanggung jawab pada anak
Dulu saya pernah punya tetangga yang berasal dari Sumatera. Hobinya ni, tiap hari teriak-teriak melulu. Waktu saya tegur, dia bilang, “Cobain kalo nanti tante punya anak, bibir tante pasti jadi maju satu senti.”
Saya si, ngakak aja, waktu dia bilang gitu. Dalam hati, saya mendendam, “Akan aku didik anakku baik-baik, biar bibirku nggak ndower satu senti.”
Tapi, angan tinggalah angan, iyah…sejak puya Hana saya juga jadi hobi teriak-teriak, sampe Hana ngomel, “Ibu ni nyuruh-nyuruh mlulu!”
“Lha, kalo nggak disuruh, nggak diingetin adik nggak inget kan?” Hana pun akhirnya nyengir kalo saya sudah mengeluarkan kalimah sakti itu. (<—- itu bukan typo, sengaja).
Begitulah, guys, There is no perfect parents, trust me. Ini bukan ngeles, tapi ya, …that’s the way it is!
Tapi tetep dong ya, kita wajib mendidik anak sebaik mungkin, dan diantara kewajiban itu adalah mengenalkan dan mengajarkan rasa tanggung jawab pada anak.
Kesel aja gitu kalau lihat anak nindas temen seenak udelnya dia sendiri, suka nyontek, kabur pas jam pelajaran atau ngerokok di jalanan tanpa ingat susahnya orangtua cari biaya sekolah.
Arti tanggung jawab
Bagi saya rasa tanggung jawab itu berarti paham akan konsekuensi setiap tindakan atau keputusan yang di ambil. Rasa tanggung juga harus bisa memunculkan self-respect aka. menghargai diri sendiri dan orang lain. Hasil akhirnya, diharapakan anak akan mampu merasakan, berpikir, dan bersikap sesuai rasa peng-hargaan kepada diri sendiri dan orang lain.
Orang hebat adalah mereka yang mampu berperilaku dengan benar, saat ada atau tidak ada siapapun
Rasa tanggung jawab bukan bawaan sejak lahir
The problem is, no one was born with responsible character. Sikap tanggung jawab dibentuk dari pergaulan sosial anak sehari-hari; berdasar apa yang ia pikirkan juga pengalaman yang ia rasakan, lihat, dan ia terima.
Belajar tanggung jawab berarti belajar untuk:
1. Menghormati dan menunjukkan empati pada orang lain
2. Jujur, meski tahu konsekuensinya tidak nyaman
3. Berani mempertahankan pendapat yang menurutnya benar
4. Bisa mengendalikan diri sendiri sesuai prinsip yang ia anut
5. Mampu menghargai diri sendiri
Kalau buat saya si, konkretnya simpel aja. Misal ni, Hana harus bisa memutuskan jam berapa ia tidur, karena tahu konsekuensinya jika tidur larut, keesokan hari akan sulit bangun. Akibatnya ia akan terlambat, ketinggalan sholat subuh, berangkat sekolah buru-buru, ibu akan teriak-teriak sepagian dan seterusnya.
Cara membangun dan menumbuhkan rasa tanggung jawab pada anak
responsible is about ourself, our decision (pic.source:quotesgram.com) |
1. Mengenalkan konsekuensi
Step yang satu ini chalengging banget. Tapi sejak kecil saya selalu tekankan padanya akan akibat tindakan yang Hana pilih.
Misalkan saat ia tidak mau mandi sore, saya selalu fokus pada akibat yang terjadi, alih-alih membujuknya dengan kata “Ada ondel-ondel”, “Nanti dikurung di kamar”, “enggak akan diajak jalan-jalan” dan seterusnya.
Ada sebuah cerita yang paling berkesan untuk saya. Hana ini punya kebiasaan, menumpuk baju kotor di bangku dekat dispenser, jarang sekali langsung masuk ke keranjang cucian. Padahal jarak keranjang cucian dan bangku hanya satu langkah saja.*KzLL!
Awal mula saya hanya ingatkan. Berhubung lupa terus, saya membuat kesepakatan sepihak yang harus Hana setujui (he he he), pokoknya baju yang tidak masuk keranjang cucian tidak akan pernah dicuci.
Sejak kesepakatan itu berjalan, Hana masih saja lupa memasukkan baju kotornya. Hingga suatu hari ia kehabisan kaos dalam, karena tidak ada satupun bajunya yang saya nyuci.
Sebagai konsekuensinya, ia harus merelakan tabungannya untuk membeli kaos dalam baru sambil menunggu kaos kotornya saya cuci. Alhamdulillah, meski sesekali masih lupa, tapi tidak pernah separah dulu.
Artikel terkait: Saya Memilih Tidak Menggunakan Reward dan Punishment untuk Mendisiplinkan Anak
2. Mengenalkan empati
Mengenalkan hal yang abstrak pada anak memang tidak mudah. Harus punya banyak akal agar tujuan pendidikan tercapai.
Untuk mengenalkan empati pada Hana saya memilih menggunakan media televisi dan dongeng.
Saat menemani Hana nonton dan ada tokoh film yang bersedih atau celaka, saya berkomentar betapa kasihannya si tokoh. Terkadang saya juga mengubah dongeng malamnya sesuai dengan pesan yang ingin saya sampaikan.
Saat ia makin besar, saya mulai ajak ia diskusi tentang tokoh cerita atau tokoh film yang ia tonton. Dan menanyakan apa pendapat Hana tentang tokoh tersebut, apa yang seharusnya si tokoh lakukan dan seterusnya.
3. Belajar jujur
“Adik, apa adik selalu celup kaki adik di sisa air hangat ini?”
“Enggak…” jawab Hana ringan sambil tertawa.
“Are you sure about it? I hear a lie on your voice?”
“He he he, iya ding. Adik celup kaki kesana.”
“Jadi kenapa adik bohong?”
“Takut ibu marah.”
Aigoo… she said that lies so easily, ambil nyengir lagi, 😒
Tidak mudah membiasakan anak untuk bicara jujur. Reaksi kita yang biasanya marah, malah akan semakin membuatnya berbohong. Anak-anak butuh tahu kalau kejujuran mereka sangat kita hargai.
Untuk itulah ketika Hana mencoba bicara jujur saya belajar untuk tidak marah, tapi menjelaskan mengapa ia tidak boleh melakukan hal tersebut.
Poinnya adalah belajar dari kesalahan yang dilakukan dan melakukan hal terbaik untuk mengoreksinya, bukannya malah mengingkari kesalahan tersebut.
4. Memupuk sikap berani
Saya paling kawatir bila Hana tumbuh sebagai anak yang penakut. Bukan takut gelap, setan dan yang lainnya, tapi saya paling kawatir jika ia takut mempertahankan pendapatnya yang benar, takut untuk membela diri, dan terlebih takut tidak punya teman hanya karena ia punya pendapat berbeda.
You know, bullies often come from such a thing, right?
Satu hal yang pertama kali saya lakukan adalah membangun rasa percaya dirinya dengan cara menghargai pilihan, dan mau mendengarkan pendapatnya. Dimulai dari hal-hal yang kecil, menghargai pilihan model baju, kombinasi baju, hingga pilihannya untuk melakukan atau tidak melakuakn permintaan saya.
Tentu hal ini tidak mudah karena kadang sebagai orang dewasa kita selalu saja berpikir apa pendapat orang lain akan situasi kita.
Tapi disinilah seninya, di satu sisi saya mencoba mengenalkan keberanian pada Hana, disisi lain saya juga belajar untuk berani dan menerima pilihan Hana meski mungkin tidak sesuai dengna pendapat orang banyak.
5. Self-control and self respect
Seorang anak yang bertanggung jawab, mustinya tidak akan melakukan hal-hal yang merugikan dirinya sendiri. Karena itu kemampuan untuk mengendalikan dan menghargai diri sendiri tentu penting untuk membangun sikap yang bertanggung jawab pada anak.
Untuk itulah paham konsekuensi dari tindakan dan pilihan Hana saya lakukan pertama kali.
Seperti nasehat lama, seseorang akan lebih mudah mengambil keputusan ketika ia tahu apa manfaat dan akibat pilihan yang diambil bukan?
(Pic.source:quotesgram.com) |
6. Bantu anak membuat penilaian yang tepat
Anak-anak belajar menilai tingkah laku seseorang dari hal-hal yang ia alami sehari-hari. Dan adalah tugas orangtua untuk menekankan nilai dari setiap tindakan yang terjadi.
Suatu hari Hana pulang dengan menahan tangis, ia kesal karena temannya malah mengajaknya mengolok-olok anak lain.
“Adik seperti mau nangis?”
“Iya, aku kesal karena Fulanah ngajakin aku manggil si A bodoh.”
“Apakah A bodoh?”
“Enggak lah, dia hanya masih kecil, jadi kadang tidak tahu.”
“Lalu apa yang membuat adik kesal?”
“Fulanah itu sudah kelas dua, apa dia tidak pernah tahu kalau mengolok-olok itu tidak baik, bikin orang sedih?”
“Oh, begitu. So, do you want me to hug you?” itu yang saya katakan pada Hana untuk “mengkonfirmasi” jika saya mengerti dan menyetujui tindakannya.
Dari yang saya amati dan pelajari, Hana akhirnya tahu jika tindakannya benar, dan ia akan terus melakukan hal tersebut, lalu menjadikannya prinsip yang ia pegang sepanjang waktu.
Terkadang tidak mudah untuk membuatnya tahu apa yang harus ia boleh dan tidak boleh ia ucapkan terutama ketika berkaitan dengan perasaan, aturan, atau prinsip kepengasuhan di keluarga lain.
Ketika hal itu terjadi, biasanya kami akan terlibat diskusi yang amat panjang. Yang pada prinsipnya kita harus menghormati keputusan orang lain dan bila tidak setuju lebih baik kita katakan dengan cara yang baik.
Kunci sukses mengajarkan tanggung jawab pada anak
1. Jadilah role model
Anak-anak belajar dari keseharian saat ia berinteraksi dengan orang disekitarnya bukan. Mereka akan belajar dari cara kita bicara, mengambil keputusan, juga anggapan dan tanggapan yang kita berikan saat mereka melakukan sesuatu.
Karena itu jika kita ingin anak-anak tumbuh menjadi pribadi yang bertanggung jawab, tentu kita juga harus bersikap lebih bertanggung jawab, bukan?
Semoga pengalaman saya dalam mengajarkan tanggung jawab pada anak bermanfaat ya, Sahabat. Atau Sahabat RPB punya tips lain untuk mengajarkan tanggung jawab pada anak? Bagi yuk, di kolom komentar.
Harus dicoba sama anakku, Mbak. Anakku yang pertama kan lagi aktif2nya. ๐
Wah, monggo mbak. Semoga bermanfaat pengalaman saya yang masih minim itu
mantaps mbak. kuncinya ada di role model. setuju.
eh saya masih blum jadi a good role model padahal. ๐
Sabar…sabar iu gk ada batasnya, apalagi soal mengajarkan sesuatu kepada anak ๐
Ndak papa, mbak, semua orang butuh proses to? Saya juga belum menjadi role model yang baik kok, hanya berusaha memberi yang terbaik
Betul sekali mbakyu …
suka…suka…sukaaa
Alhamdulillah kalao gitu.
Aku samaan mba, dulunya aku heran kenapa ya kalau ibu-ibu itu suka ngomel terus, apa gak bisa ngomong pelan pelan sama anaknya. Terus aku juga suka juteki. Emak emak yang hobinya ngmelin anaknya, eh kejadian ternyata memang harus ngomel ya ketika ngasih tau sesuatu kepada anaknya. Aku sepakat sama menjadi role model mba, seorang ibu terutama orang tua mesti memberi contoh dahulu sebelum meminta anak melakukan hal baik.
Ngomel itu penekanan mbak, penekanan "you have to do this" ha ha ha alibi ceritane