Apakah Kamu Merasa Sedih Saat Ramadhan Berakhir?

saat ramadhan berakhir

Lebaran hari ke-4. 

Saat mendekati lebaran kemarin, saya nemu beberapa status iseng, nanyain 

Yakin, kamu sedih karena Ramadhan pergi? Bukannya kamu seneng karena sudah lebaran?

Well, pertanyaan tersebut cukup bikin nyengir, sih. 😁 Berpotensi membuat pertentangan di hati, dijawab “enggak”, kok rasanya jadi hamba yang buruk gitu. Di jawab “iya”, tapi kenyataannya seneng. Orang iseng itu memang ngeselin, ya. 😀

Jujurly, saya termasuk golongan kedua, “seneng karena lebaran sudah datang.”

Ya, saya tahu, ada banyak pahala di bulan Ramadhan, tapi sepertinya iman saya belum seindah itu untuk merasa melow ketika Ramadhan pergi. 

Dan hei, siapa yang tidak suka lebaran; waktu untuk ketemu dengan sanak saudara dan keluarga besar yang tinggal berjauhan bukan? Apalagi seperti saya, kesempatan tersebut kadangkala hanya datang sekali setahun. Pulang kampung perlu nunggu anak atau suami libur kerja cukup panjang. 

Ya saya tahu sih. di luar sana ada beberapa teman, yang sudah mengubah budaya keluarga dan pandangannya tentang Idul Fitri. Hari raya besar mereka adalah Idul Adha, bukan Idul Fitri.

But again, itu belum terjadi di keluarga saya. Paling tidak sampai lebaran 1443 H ini, kami masih dengan budaya yang sudah turun temurun, Idul Fitri adalah hari raya yang sesungguhnya. So, asli saya seneng tuh, kalau lebaran sudah datang. 😁


Alasan yang kedua, karena sampai saat ini saya menganggap Ramadhan adalah bulan latihan. Yap, latihan untuk menyeimbangkan ibadah dan urusan dunia, mengusahakan bekal akhirat, tapi tetap mengusahakan dunia dengan sebaik-baiknya. So, the real challenge will be those days after Ramadhan

Setidaknya, sampai saat ini, ukuran keberhasilan saya beribadah adalah bagaimana saya mempertahankan kebiasaan baik selama Ramadhan selama setahun ke depan. 


Lalu bagaimana jika tahun depan tidak ada lagi kesempatan bertemu Ramadhan? Ya, itu kan sudah takdir, sudah tertulis dari jaman saya belum lahir. Itulah mengapa fokus saya malah pada bagaimana setiap hari memperbaiki ibadah, nggak hanya di bulan Ramadhan. Challenging banget itu. Ciyus deh. 😁.

Bagaimana dengan pahala? Ya tentu saya pengen. Tapi gimana ya, pahala kan di luar kendali saya juga, tugas saya mengusahakan sebaik-baiknya. Dan bagi saya, kalau selepas Ramadhan bisa mengusahakan kebiasaan baik seperti saat Ramadhan, -interaksi dengan Al-Quran tetap intensif, sholat tepat waktu, ibadah sunah malam tidak ketinggalan-, itu sudah termasuk pahala. 

Bener, lho, asli nggak gampang ibadah seperti itu, apalagi bila Sahabat hidup di lingkungan yang kuantitas ibadahnya “B” aja (saya nggak bilang kualitas ya, susah dinilai itu). 

Karena itu, usai lebaran begini, saya biasanya mulai review bagaimana saya menjalankan ibadah saat Ramadhan kemarin. Apalagi di tahun ini saya berusaha menyiapkan “membangun good habit saat Ramadhan” dengan lebih baik. Jadi agak exiciting gitu, review-nya, he he he. 

Ya, usaha saya memang tidak sekeren mereka yang dapat khatam Al-Qur’an berkali-kali di bulan Ramadhan. Bagi saya yang kuantitas ibadahnya (dan mungkin kualitas juga) masih “B” aja, sanggup membiasakan diri dengan konsisten itu sudah keren banget. 

Eh, ini nggak bermaksud sombong, ya, sekedar menghargai usaha diri sendiri saja. Modal membangun kepercayaan diri, bahwa hal yang awalnya saya pikir nggak mungkin, bisa juga saya kerjakan. Yang saya butuhkan hanya usaha, melebarkan sedikit zona nyaman

Jadi, bagaimana dengan Sahabat RPB, apakah biasanya merasa sedih saat Ramadhan berakhir? Share dong, ceritanya. 

PS. Semua yang saya tulis di atas hanya pendapat pribadi, ya, jangan dijadikan ukuran dan pedoman untuk Sahabat RPB. Dan jika pemikiran saya salah, tolong dikoreksi, ya. Colek saja saya di WA atau Instagram @rahayu_pawitri. Thank you for dropping by ….

Leave a Comment

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *