Sumbu Pendek dan Rasa Sakit

Siang ini saya baru saja kembali dari kontrol trombosit, setelah seminggu yang lalu dokter menyatakan jika trombosit saya di bawah standar.

Rasanya bahagia sekali sewaktu dokter mengatakan semua sudah normal, “Hanya perlu makan teratur, tidak boleh telat, pastikan istirahat cukup, dan minum vitamin.”

Well, bukan sebuah kondisi yang cocok untuk merasa sedih dengan backsound mengharubiru kan? Meski sesekali, ujung jari saya masih terasa kesemutan, plus otot jari tangan dan kaki terasa kaku, but it’s okay, yang penting saya tidak perlu terus-terusan meletakkan kepala diatas bantal.

Sakit kali ini rasanya beda dengan sakit-sakit saya yang lalu. Selain waktu penyembuhannya yang lama, entah, emosi saya seolah ikut-ikutan down kali ini.

Sumbu pendek dan rasa sakit

Sejak harus masuk rumah sakit karena suhu tubuh terlalu tinggi hingga kalium yang ada dalam tubuh terserap dan otot jemari saya kaku, saya sepertinya jadi membenci orang-orang disekitar saya, terutama Hana dan ayah.

Di mata saya, apapun yang mereka lakukan selalu terlihat salah. Ayah yang tak juga mengerti jika istrinya butuh istirahat total, Hana yang seolah menjadi bengal karena saya yang tidak mampu mengawasi detil kesehariannya, semua terasa menyesakkan! Sampai akhirnya muncul keinginan untuk menepi terlebih dahulu di kampung halaman, istirahat total.

Sebuah jalan keluar yang sebenarnya juga bukan solusi yang tepat. Karena tentu, Bapak dan Ibu (yayi dan kakung Hana) malah akan lebih khawatir tentang Hana. Dan mungkin Hana pun akan lebih tidak terurus mengingat si Ayah belum pernah sekalipun saya tinggal berhari-hari hanya dengan Hana.

Tapi sungguh, saat itu saya hanya ingin satu hal, istirahat total.

Setiap hari saya hanya bisa marah, marah, dan marah.

Saat sendiri, jujur saya merasa sangat kawatir, takut tidak dapat berpikir positif. Saya juga khawatir jika saya tidak bisa berpikir jernih lagi, dan kembali ke saya yang dulu; apatis, terbiasa dengan pikiran buruk, dan tidak pernah bisa melihat sisi positif dari apapun.

Saya sangat takut, karena seberapa keras saya mencoba untuk tetap berpikir positif, bahkan sekedar istigfar pun saya tidak sanggup. Pikiran dan hati saya terus saja melayang entah kemana. Saya hanya bisa marah pada apapun yang ada di depan saya.

Marah, tidur, dan makan, itu pekerjaan saya sehari-hari.

Untunglah, ketika packing saya belum selesai, saya harus kembali lagi ke RS karena saya merasakan kram di bagian wajah dan dada.

Di rumah sakit, setelah jarum infus terpasang di lengan kanan, saya akhirnya menyerah. Semua standar “seharusnya” saya letakkan. Dan saya memilih untuk tidur, tidak peduli ayah yang sempat menunggu, kemudian pergi dan akhirnya datang bersama Hana. Saya hanya ingin tidur.

Sekembali dari RS untuk kedua kalinya itu, saya mencoba “berdamai” dengan semua standar saya.

Jika dulu saya merasa kasihan dan tidak enak hati jika si Ayah harus repot nyuci dan bangun pagi menyiapkan sarapan, sekarang semua saya biarkan. Abaikan saja rasa tidak enak hati itu.

Jika kemarin saya marah-marah pada Hana karena tas dan sepatunya yang berantakan, sekarang saya hanya bilang rapikan. meski saya harus berkali-kali mengingatkan, saya tidak peduli. Saya hanya ingin melepaskan apa yang ada dipikiran saya.

Jujur, ada rasa takut saat melihat si ayah, saya pikir dia akan marah karena artinya dia harus kerja dobel. Tapi syukurlah, dia mau mengerti dan tidak banyak mengeluh.

Di saat itu saya jadi berpkir, seperti inikah perasaan mereka yang sedang sakit; merasa mampu melakukan banyak hal, merasa ingin melakukan ini itu, merasa tidak enak pada mereka yang merawat dan mengurusi; tapi karena tidak mampu akhirnya mereka hanya bisa marah? 

Pernah saya berpikir, jika mereka yang sakit kenapa susah sekali diajak mengatur makan. Tapi setelah sakit kemarin, akhirnya saya bisa memaklumi,-setidaknya,- sebagian alasannya.

Saat sakit, memang sulit sekali untuk berpikir jernih, apalagi jika tidak terbiasa melatih pikiran untuk tetap positif. Yang dibutuhkan saat sakit adalah fakta pendek, jika “Aku bisa sembuh” bukan penjelasan panjang lebar, “kamu nggak boleh makan ini, kamu nggak boleh melakukan itu”. Bukan, bukan seperti itu yang diharapkan oleh si sakit.

Lebih tepatnya, kami butuh ditenangkan, dimengerti, diredakan dari pikiran buruk, dan lainnya.

“Tapi kan faktanya memang seperti itu, ada beberapa hal yang dilarang.”

“Kami tidak mau tahu. Yang kami tahu, saat sakit kami ingin punya pikiran tenang. itu saja”


Begitulah, sakit kemarin benar-benar membawa pemahaman baru untuk saya, terutama bila nanti berhadapan dengan saudara, orangtua, atau sesiapa yang sedang sakit.

Saat sakit, kadang rasanya memang masih ingin melakukan banyak hal. Tapi bila hal tersebut membuat kita bersumbu pendek, marah-marah, dan hampir tidak kenal dengan diri kita, mungkin ada baiknya melepaskan keinginan itu, dan mulai menerima. Percayalah, memiliki pikiran yang lapang, sungguh membantu bagi kesembuhan.

Bagi Sahabat yang sedang menghadapi si sakit, semoga Tuhan memberkahi dengan kesabaran yang banyak, melapangkan hati, menguatkan punggung Sahabat…

Leave a Comment

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *