“Sedekah boleh dengan motivasi, namun saat tak tercapai, tetaplah berbaik sangka padaNya”
Akhir-akhir ini, saya banyak mengikuti ceramah Ustadz Yusuf Mansur. Buat saya, ceramah Beliau cukup make sense, meraih dunia melalui jalan akhirat. Selain itu, Beliau pun mampu menggabungkan antara ceramah dengan motivasi.
Singkat kata, saya pun mengikuti, banyak sekali saran Beliau, seperti mengerjakan shalat Rawatib, shalat dhuha, mengkhatamkan Qur’an selembar setiap hari dan amalan sunah lainnya; termasuk sedekah.
Dulu, pada saat masih bekerja di luar rumah aka. ngantor, Alhamdulillah Allah meringankan tangan saya untuk bersedekah. Karena saya punya pikiran sendiri, harta dunia sebenarnyalah bisa kita bawa mati, yaitu dengan cara menyedekahkannya.
Sayangnya, di saat apa yang saya harapkan tidak terjadi, tanpa saya sadari timbul rasa kecewa besar dalam hati saya. Kekecewaan itu kemudian seperti menarik saya kembali, pada suatu waktu dimana saya tidak pernah memperdulikan amalan-amalan sunah. Yang penting, wis nglakoni sing wajib…
Bahkan terkadang saya sering menangis tanpa sebab. Hal ini terjadi selama beberapa waktu. Hingga pada suatu pagi, dalam review “Wisata Hati” AnTV, ada seorang Bapak yang memberikan testimoni sedekahnya; “Saya ini, Ustadz, termasuk orang yang maunya serba instan. Saya kemarin mensedahkan mobil, dengan harapan, saya akan mendapat lebih dari yang saya sedekahkan. Saat hal itu tak tercapai, saya kecewa. Padahal siapa tahu, dosa saya yang setumpuk, telah Allah kurangi…”
Tersentak saya mendengarnya. Beliau yang bersedekah mobil saja mempunyai kesadaran seperti itu, sementara saya yang mungkin hanya sepersekian persen dari total yang Beliau sedekahkan saja, kok bisa-bisanya saya “menggugat” Allah untuk doa dan harapan yang belum di kabulkan.
Siapa tahu Allah telah mengurangi dosa-dosa saya. Siapa tahu, ini adalah ganti dari uang yang seharusnya dulu saya sedekahkan, tapi malah saya bawa ke 21 Cineplex.
Saya juga lupa, bahwa karena sedekah itu pula, telah ada begitu banyak perubahan yang terjadi dalam diri saya.
Astagfirullah… betapa bodohnya saya. Dari sini saya kemudian belajar, bahwa kekecewaan saya lebih banyak datang dari dalam diri saya sendiri. Saya lebih banyak menyesali yang tidak saya dapatkan, dibanding mensyukuri apa yang saya dapatkan.
Aamiin.