Karena Bahagia itu Sederhana …

Siang itu, Jam menunjukkan pukul 11.30; itu berarti sudah hampir 6 jam saya berkutat dengan pekerjaan domestik. Dan merebahkan punggung di karpet… ah, rasanya…..

Hana yang sedang bermain di dekat karpet mendekat, lalu memijit kaki saya. Tak lama ia bertanya, “Apakah ibu bahagia?”

Meski telah terbiasa dengan pertanyaan Hana yang kadang “ajaib” dan sangat mengikuti tata bahasa, tak pelak saya geli juga.

“Emangnya napa?”

“Habis tadi ibu nyuruh Hana pakai suara keras.”

“He he maafkan ibu, ya, ibu capek dan buru-buru, Sayang. Ibu kan masih harus ngetik,” jawab saya sambil menunjuk to do list harian saya.

“Ibu si, banyak maunya. Jadinya ibu harus mikirin kerja, kerja terus. Kapan bisa happy?”

Seketika saya terkesiap. Benarkah bahwa saya terlalu memaksakan diri mengejar keinginan ini dan itu hingga saya terjebak rutinitas, target tidak realitis dan kurang menikmati hidup?

Saya pun teringat acara ulang tahun Nova sebulan yang lalu dengan tema “Perempuan Berkilau”. Dalam acara tersebut, psikolog Sukmayanti Ranadiraksa, S.Psi, M.Psi memaparkan bagaimana menjadi perempuan yang berkilau di segala peran.

Ada banyak peran yang seorang perempuan harus lalui

Alasan perempuan tidak bahagia

Dalam talk show tersebut, ibu Sukmayanti menjelaskan bahwa perempuan sesungguhnya memegang banyak peran disetiap fase kehidupanya. Namun sayang, justru peran inilah yang membuatnya kadang tidak merasa bahagia.Ketidak bahagiaan yang bisa meredupkan kilau seorang perempuan.

Ketidakpuasan akan hasil disetiap peran yang seorang perempuan miliki, seringkali akhirnya melahirkan konflik dan membuat perempuan rentan untuk tidak bahagia.

Padahal bahagia adalah sesuatu yang sederhana, tidak butuh apa-apa untuk menghadirkannya pada kehidupan kita. Dan karena bersifat spiritual, maka bukanlah pencapaian ini dan itu yang menjadi tolok ukurnya.

Untuk itulah bahagia sebenarnya sebuah rasa yang bersifat kekinian; saat ini. Yang biasanya berwujud dari perasan puas dan cukup akan apa yang sedang dihadapi.

Menerima diri sendiri, awal dari kebahagiaan

Cara untuk menjadi bahagia

Lebih lanjut, ibu Sukmayanti membagikan tips-nya agar perempuan menjadi lebih bahagia. Pertama kali, seorang perempuan harus bersedia untuk menerima diri sendiri, yang diiringi dengan rasa syukur dan keinginan berbagi bahagia bersama keluarga atau sahabat dalam bentuk apapun, adalah beberapa cara yang bisa perempuan lakukan.

Inspirasi kebahagiaan di acara Nova kemarin itulah yang banyak mengubah pola pikir saya selama sebulan ini. Jika biasanya saya berpikir “Andai saja aku punya … ”, “Bila saja dulu aku …”, maka kali ini saya biasakan, “Alhamdulillah, saya sudah …”.

Kadang pengandaian, keinginan yang muluk-muluk, standar hidup orang lain memang bisa menjadi penghalang kita untuk merasa bahagia. Meski sudah berusaha mengubah pola pikir, namun rupanya masih ada hal yang saya lewati. Target yang masih belum realitis, keinginan yang  belum dibatasi, rasa ingin menunjukkan bahwa saya bisa melampaui standar; rupanya telah menjebak saya.

Hmm…mungkin benar, ya, nasehat orang tua jaman dulu;

“Melihat itu jangan hanya keatas, tapi juga kebawah, kanan dan kiri. Bila perlu sesekali mundurlah selangkah. Dan lihat sudah sampai dimana kamu sekarang, apa saja perubahan yang kamu rasakan. Pasti kamu akan lebih bersyukur dan bahagia.”

Sebetulnya kami, Hana dan saya, sering berbagi cerita kebahagiaan. Kami punya ritual ngobrol sebelum tidur. Kadang saya bertanya apakah ia melewati hari dengan bahagia.

Hi hi hi, memang lucu si, tapi ini cara saya untuk menyelami isi hatinya atau mengetahui perasaanya. Selain itu kabarnya, cara seperti ini juga merupakan salah satu cara agar anak terbiasa mengungkapkan isi  hatinya, membuat ia bisa percaya bahwa orangtuanya ada untuk mendengarkannya.

Dan siang itu, …
Akhirnya Hana bilang, “Nanti kalo udah besar aku akan bantuin ibu deh, biar ibu bisa banyak happy happy ma, Hana.”

Bahagianya selalu didoakan Hana

Saya pun menjawab, “Amiinn. Ibu sekarang juga udah bahagia, kok, punya Hana. Karena Hana selalu berusaha jadi anak yang baik dan shalehah.”

“Oh, oke, “ kata Hana dan kemudian beranjak bangun. “Mau main sama Hana?” tawarnya.

“Bentar ya, beri ibu lima menit lagi untuk istirahat.” Hana pun mengangguk dan mulai sibuk lagi dengan mainannya.

Saya mengamati sekeliling ruang tamu, rumah sudah bersih dari debu, setrikaan di kamar sudah rapi, Hana juga tidak teriak karena lewat jam makan, dan tentu saja, mendengar pengakuan anak yang tidak lupa selalu mendoakan ibunya, mau tak mau saya pun merasa bahagia.

Dalam hati, saya berjanji akan menyisakan sedikit waktu sebelum tidur nanti untuk menyederhanakan target, memilih yang terpenting diantara yang penting. Menyortir keinginan, dan fokus untuk mencapainya satu persatu.

Perasaan saya pun menjadi lebih ringan di siang itu. Ya, memang sebenarnya bahagia itu sederhana. Syukur adalah awalnya dan penerimaan akan diri sendiri itu adalah kuncinya.

So, okeh, Mr. Deadlion, I’m coming after this break, ya (and 15 minutes-play with Hana, of course)  

Note:
“Deadlion” adalah istilah pergaulan yang kadang para penerjemah pakai untuk frasa “dead line”

Show 5 Comments

5 Comments

  1. Tuhkan Ibu seh kerja mulu…jadi deh anaknya yang ngingetin biar selalu happy…happy dan happy.

    Toss ah Hana

  2. sangat sepakat bahwa kebahagiaan tidak dapat dinominalkan dan tak bernominal memangnya ge…maka bahagia yang sesungguhnya, kata orang bijak mah akan diperoleh dari kesederhanaan…kesederhanaan yang hakiki tentunya ya kak?

  3. jadi sebaiknya saya pilih veti vera ya, pakdhe; yang tengah aja? ha ha ha. Makasih sduah mampir pak dhe….

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *