Tangkal Bullying dengan Menumbuhkan Rasa Percaya Diri pada Anak

Buat saya, yang namanya Bully tu paling enggak banget, paling nyebelin, bikin ilfil, dan salah satu hal yang paling saya takuti sejak saya punya anak.

Bukan saya kawatir dibully (nge-bully saya paling capek doang 😀), tapi saya kawatir kalau Hana bakal dibully orang.

Karena itu saya jadi sering kepoin nasehat-nasehat dari ahli parenting. Cobain ikut grup-grup kepengasuhan agar tahu trik mendidik anak yang tahan dengan bullying.

Dari semua saran dan ilmu merangkum ada beberapa hal penting yang orangtua bisa lakukan untuk menangkal bullying, yaitu menumbuhkan rasa percaya diri pada anak dan mendidik anak berani berkata tidak

Cara saya mempersiapkan anak menangkal bullying

1. Menanamkan rasa percaya diri

Jangankan anak, kita orang dewasa aja masih sering kesulitan untuk percaya diri kan? Saya pribadi mengawalinya dengan berusaha tidak membandingkan Hana dengan siapapun dan dalam hal apapun (sebisa mungkin 😁). Berusaha menerima Hana sebagai dia yang unik. And I must confess, that it’s not an easy thing to do.

Saya mulai dari hal kecil, dengan tidak membiasakan berkata,

“Lihat tu, kakak Al sudah mandi, masak adik belum…”

Sebagai gantinya ya, langsung aja to the point, “Udah sore, ayo mandi, nanti dingin, adik bisa sakit”.

Ada alasan lain juga si, saya menghindari kalimat tersebut. Kawatir nanti malah dibalik sama Hana saat ia pengen sesuatu. Misalkan “Si A aja punya iphone, kok aku enggak”, nah, malah bisa pingsan kan?

Okay, balik ke percaya diri,

Pengennya saya ni, Hana bangga karena benar, karena ia punya cara sendiri, pemikiran sendiri.; pokoke “it is okay to stand alone as long as Allah with me”, gitu kira-kira.

Dan bagi saya prosesnya ini sungguh panjang. Sejak ia mulai bayi, saya bebaskan ia bereksplorasi, memastikan jika ia punya stock kasih sayang yang banyak, juga tidak mudah melarang ketika Hana pengen bereksplorasi (sedikit ceritanya ada pada post “Hana Bisa Dili Sekarang“).

Apakah Hana sekarang jadi anak percaya diri dengan cara itu?

Kalau ukurannya kemudian dia berani tampil joged-joged di panggung saat 17-an, ya enggak. Dia bukan tipe anak seperti itu. Tapi saya lihat dia berani bilang apa yang ada dipikirannya, meski mungkin itu bertentangan dengan mayoritas suara yang ada.

2. Ajak anak untuk mengenali perasaannya

Hana ini sebetulnya tipe anak slow to warm up. Malah saat masih bayi, ia bisa digolongkan dalam difficult child, sensitif banget. Anaknya jadi gampang rewel dan nangis. 
Celakanya, saya ini tipe orang yang nggak sabaran, nggak suka membujuk anak nangis. Maunya langsung dezz… beres he he he. Makanya saya nyari cara bagaimana agar Hana mudah mengekspresikan emosinya dan bisa menunjukkan apa yang ia mau, nggak perlu pakai ngamuk atau nangis lagi. 
Waktu Hana baru belajar bicara, saya ucapkan kata dan bagaimana mengekspresikannya dalam gerakan. Misalkan kata “ingin tidur” dengan dua tangan ditelangkup, dan diletakkan di bawah kepala yang miring. Atau laper dengan pura-pura memasukkan sesuatu ke dalam mulut. 
Ketika kemudian kenal buku dan dongeng, saya tunjukkan ekspresi muka sedih, marah, bingung lewat gambar-gambar dalam buku.

Pernah juga kami main “diari-diari-an”. Jadi saat sebelum tidur, saya ajak Hana menuliskan apa kegiatannya di hari itu, atau jika tadi siang dia marah, saya ajak ia mengenali apa yang menjadi penyebab ia marah. 

Alhamdulillah dengan dua cara tersebut, selain tidak mudah rewel, Hana pun jadi tahu apa yang sebenarnya ia inginkan atau rasakan.

Dari dua hal diatas, saya lihat Hana berani untuk berkata “tidak” jika memang ada hal yang tidak ia sukai. 

Salah satu buktinya, ketika ia pernah menolak teman yang memintanya mengejek anak lain. Meski pulang sambil nangis dan diancam tidak mau diajak main lagi, Hana tetep pada pendiriannya.

Lalu apakah itu cukup efektif untuk menangkal bullying hingga hana besar nanti? Well, saya tidak tahu, kan masih belum terjadi he he he.

Yang bisa saya usahakan saat ini adalah membangun nilai-nilai keluarga dan komunikasi, memastikan jika dia akan selalu punya rumah untuk pulang. Agar ia berani dan percaya diri tidak karena materi, tapi karena tahu apa yang dingini.
(yeach, hidup “i”). 😅😅😅

Leave a Comment

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *