Kasus JICT, Sebuah Ujian Komitmen Kedaulatan Ekonomi

Semalam, sambil beresin tumpukan cuncian kering, saya menyimak acara “Q&A di Metro Tv. Hari itu bintang tamunya adalah Yusril Indra Mahendra. Dan saat pembawa acara membacakan karir advokasi Ketua Majelis Suro PBB ini, nama RJ Lino disinggung. Pikiran saya langsung teringat JICT.
Nama RJ Lino memang tak bisa lepas dari JICT. Dirut Pelindo II ini telah dijadikan tersangka atas kasus perpanjangan kontrak JICT. Yang sayangnya, hingga saat ini kasusnya tidak pernah naik ke pengadilan.
Diawal pemerintahan Jokowi-JK, harapan para pejuang JICT sempat melambung, dengan diusungnya program Nawacita, dengan visi untuk “mewujudkan Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian.”
Impian ini semakin berbunga, ketika Rizal Ramli, yang saat itu menjabat Menko Kemaritiman, sangat getol menentang JICT dan pulau reklamasi.
Masih ditambah dengan janji Luhut Binsar Panjaitan (saat itu menjabat Kepala Staf Keprisidenan), yang akan menyampaikan aspirasi SP JICT, untuk menolak konsesi, kepada Presiden Jokowi.
Sayang, harapan meredup ketika aksi-aksi SP JICT malah akhirnya dikomentari negatif.

Berdikari ekonomi, apakah hanya mimpi?

Meskipun PT JICT sudah dinyatakan bersalah, namun sikap pemerintah saat ini yang hanya diam saja, semakin menimbulkan tanda tanya; seberapa besar komitmen pemerintahan saat ini untuk mewujudkan visi kemandirian ekonomi bangsa?
Tengok saja ketegasan Rizal Ramli yang menolak perpanjangan TPK Koja, malah berbuah reshuffle. Pun yang dialami Kepala Bareskrim, Beliau dimutasi karena berupaya mengungkap kasus korupsi di Pelindo II.
Sikap diam ini pun semakin membuat utang luar negeri Indonesia membengkak. Di kutip dari Harian Republika, tanggal 2 Februari 2018, BI menyatakan jika ULN Indonesia melonjak 10,1%.
Meskipun BI menyatakan jumlah ULN tersebut aman, tapi banyak ekonom yang mempertanyakan hal tersebut.
Sebab utang yang diklaim untuk kegiatan produktif tersebut lebih banyak digunakan untuk pembangunan jalan tol, bukan fasilitas perkotaan atau fasilitas publik yang lebih banyak menyerap tenaga kerja.
Karena itu penambahan utang ini dianggap tidak mendorong pertumbuhan ekonomi maupun daya beli masyarakat.
Utang yang menumpuk selain membebani APBN, generasi Indonesia di masa depan, juga membuat stabilitas nilai tukar rupiah terus bergoyang.

Utang luar negeri, mengapa harus segera dikurangi

Utang luar negeri tidak hanya akan menjadi beban ekonomi, tapi mengancam kedaulatan bangsa.
Tengok apa yang terjadi pada pelabuhan Hambantota, Sri Lanka. Atau malah pulau Maladewa yang sekarang menjadi milik China, setelah pemerintah kedua negara tersebut tidak mampu membayar hutang.
Mengutip republika.co.id (05/08/2017), kasus Sri Lanka bisa menjadi pelajaran penting untuk Indonesia, jika utang yang digunakan untuk pembiayaan infrastruktur menyimpan resiko politik.
Karena itulah, pemerintah harus benar-benar serius untuk memproses kasus JICT ini, dan membatalkan kontrak dengan HPH.

Leave a Comment

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *