Belajar Membuat Jurnal Bersyukur

belajar-membuat-jurnal-bersyukur

Dua bulan terakhir ini, lagi-lagi perasaan saya tidak karuan. Alasannya sederhana sih, gara-gara pekerjaan.

Karena harus mereview kursus pengembangan diri, saya malah terseret balik ke cerita masa lalu. Cerita masa lalu yang semula saya pikir sudah lewat dan dalam proses selesai, ternyata masih ada disana. Cerita itu hanya menunggu untuk keluar, dan kembali mengganggu.

Untunglah, pada salah satu tahap review tersebut saya harus melakukan tes “Abundance. Tes untuk mengukur seberapa tinggi kadar “bersyukur” yang saya punya atas hidup, juga semua hal yang telah saya miliki, termasuk kesehatan, hubungan sosial, juga … cinta (maksudnya relationship sama pasangan, getuh 😀).

Ya, memang tidak ada kaitan secara langsung antara masa lalu yang traumatis, dengan rasa bersyukur yang saya miliki sekarang. Tapi dengan melakukan tes ini, saya mendapat jawaban atas semua “mengapa” yang sering melintas di kepalaku.

Contohnya nih, kenapa saya mudah stres, sering terlintas pikiran buruk, gampang naik darah, juga baperan kalau ada hal-hal yang kadang nggak sesuai dengan prinsip hidup atau standar nilai yang saya pegang.

Hasilnya, saya pun lebih memahami diri dan tahu apa saja yang harus saya perbaiki.

Btw, skor “abundance” saya kecil banget, cuma 60%. Padahal selama ini saya pikir saya tipe orang yang cukup bersyukur, lho. Kalau sesekali stress, sebel, ngomel, semata karena saya berpegang pada prinsip yang benar (dan mereka aja yang nggak ngertiin saya →→ tuh, belum-belum udah offensive 😀😀).

Misal nih, kalau ayah Hana lagi pasang muka jutek pas pulang kerja. Sementara selama ini saya tahu, jika seorang suami yang pulang kerja, sebaiknya sudah meninggalkan semua beban di luar sana saat masuk rumah.

Nah, dalam pikiran saya nih; langsung tersusun kalimat-kalimat pembelaan diri, siap-siap kalau si Ayah bakal komplain ABCD. Padahal sampai doi selesai mandi pun, doi juga nggak ngomong apa-apa. Konyol banget ‘kan?

Kondisi seperti itu ternyata terjadi karena saya punya kecenderungan perfeksionis. Jadi, di kepala saya, selalu punya gambaran yang ideal banget atas apapun. Parah!

Selama ini, dengan sering membaca “Alhamdulillah” tiap selesai sholat, atau kapan saja kalau pas ada kesempatan (misal sambil ngonthel, dapat hadiah de es be), saya pikir saya sudah termasuk orang yang cukup bersyukur. Tapi ternyata, semua hanya di bibir saja, enggak sampai ke hati, apalagi sampai merasuk ke cara berpikir.

Pantas saja, saya sering mudah stres, tidak mudah menerima kekurangan plus sering merasa kecewa terhadap sikap orang lain.

Ternyata, sebagian perasaan itu muncul karena saya kurang merasa bersyukur.

So, gimana ngoreksinya? 

Jurnal bersyukur, untuk hidup yang lebih baik

Ih, kayak iklan deh. Tapi ciyus, itu yang disarankan oleh si Pembuat kuis “Abundance” itu.

Logikanya dengan lebih sering bersyukur, saya dapat mengurangi gambaran terlalu ideal dalam pikiran saya.

Tentang jurnal “Bersyukur”

Saya mengenal istilah jurnal bersyukur benernya sudah lama, tepatnya sejak mengikuti 2 kelas produktivitas Coach Aji. Waktu itu, Emak Gaoel, aka. mbak Winda Kresnadefa juga pernah menyinggung dalam salah satu statusnya.

Tapi ya begitulah, apa yang dikatakan oleh kedua orang tersebut ternyata masih kurang menggerakkan niat saya untuk membuat jurnal bersyukur dengan konsisten. Sesekali membuat, namun lebih banyak enggaknya. 😀

Dan ketika saya menulis tulisan ini, saya sudah menjalani ritual membuat jurnal tersebut selama 4 hari. (*note: ketika post ini terpublish, saya sudah membuat jurnal bersyukur selama 2 minggu).

Jadi, sebenarnya jurnal bersyukur itu apa sih?

Ya, seperti namanya, jurnal bersyukur adalah catatan rasa syukur kita sehari-hari. Dan ini nggak hanya tentang pencapaian pekerjaan atau materi, tapi juga hal-hal kecil yang telah kita jalani selama ini.

Hidup di jaman yang terkoneksi dengan apapun, dimanapun, dan siapapun seperti saat ini memang sangat menguntungkan. Tapi disisi lain, juga bisa merugikan.

Ngaku deh, berapa kali kita merasa iri saat lihat teman update feed IG duduk manis dalam sebuah mobil dan dikasih caption, “Pendatang baru di rumah, nih”? 😀

Atau waktu lihat temen update makanan di resto tertentu langsung komen, “Cieee…. yang laris endorse.” 😂

Automate ngulik-ngulik feed IG doi, dan cari tahu gimana doi bisa setajir atau selaris itu. *nunjuk diri 😀

Nggak sampai disitu, masih ditambah bikin meme “Bulan baru, waktunya menggapai target di bulan kemarin, yang merupakan target dari bulan yang telah lewat.”

Jiah!!!

Kesannya lucu sih, tapi you know what, itu juga bisa menunjukkan rasa ketidak bersyukuran kita, lho.

Okay, target tabungan mungkin tidak tercapai di bulan ini, tapi ingat di bulan ini pula kita sudah bisa berbagi makanan dengan tetangga, ketawa-ketiwi dibawah pohon sawo, saat orang lain nun jauh disana, jangankan tertawa, melihat matahari saja sudah tidak bisa.

Kita juga masih bisa melihat anak kita yang pulang sekolah sambil lari dan memeluk kita. Saat kita hidangkan makan siang, dia tersenyum sambil tidak lupa bilang, “Terima kasih, ibu.”

Hal-hal biasa, sepele, seperti itu yang sering kita lupa syukuri. Sampai akhirnya kita ngeluh, dan lupa untuk bahagia. 

Nah, disitulah fungsi jurnal bersyukur.

Setiap hari, kalau ditulis ya memang banyak sih, tapi jujur deh, kadang ada kan momen yang bikin kita pengen bilang “Yes!!” dan automate nge-dance Tempo? 😀😀
Hal-hal kecil yang membahagiakan seperti itulah yang bisa kita tulis dalam jurnal bersyukur.

Jadi, kapan sebaiknya jurnal bersyukur dibuat?

Ini banyak versi sih, bisa dibuat sehari tiga kali menjadi grateful morning, noon, and night; bisa juga  ditulis di malam hari. Bisa juga dibuat saat kita merasa hepi; ya…itung-itung, mumpung momennya belum ilang, gitu. 😀😀

Kalau saya sih, menulis jurnal bersyukur di malam hari, tapi jika sudah terlalu lelah, saya melakukan kegiatan tersebut di pagi hari, seusai sholat tahajud. Kadang juga kalau dipagi hari ada hal tertentu yang membuat saya hepi, saya pun langsung tulis di jurnal saya.

Saya juga menginstal aplikasi 365 gratitude untuk membuat jurnal bersyukur ini. Awal niat menginstal aplikasi ini sebenarnya hanya untuk cadangan saja, agar saya dapat menulis dengan menggunakan tools suara saja.

Tapi ternyata aplikasi ini lebih dari yang saya harapkan. Jadi, saya memutuskan untuk membuat dua buah jurnal terima kasih dalam dua bentuk (cerita lengkap akan saya tulis pada kategori review nanti).

Manfaat menulis jurnal bersyukur 

Meskipun baru tiga hari saya sukses membuat jurnal bersyukur, saya sudah mulai merasakan manfaat dari menulis jurnal ini. Yang pasti saya menjadi lebih hepi, tidak mudah stres, baper, dan lebih ringan dalam menghadapi hal negatif. 

Contohnya ketika siang ini mendengar cerita salah satu guru Hana tentang seorang anak SD yang sudah terbiasa membuka situs dewasa. Saya otomatis melakukan “cleaning” sehingga mampu melihat dan menanggapi kasus tersebut dari sudut pandang yang berbeda. Enggak langsung menghakimi kalau orangtuanya tidak peduli, jika anak tersebut kurang ajar, dan seterusnya.

Begitu juga saat kemarin terjebak macet dalam perjalanan menuju Blok M, hati saya sama sekali tidak sebal, pun saya tidak merasa panik meskipun hari semakin beranjak sore. Dalam hati saya sampai berbisik, “Wah, keren kamu, Wit”.

Dan tentu saja kedua kejadian tersebut semakin membuat saya bersemangat untuk membuat dan meneruskan menulis jurnal bersyulur saya.

Doakan ya, semoga saya istiqomah, menjadikan aktivitas menulis jurnal bersyukur ini sebagai aktivitas harian saya.

Nah, jika saat ini Sahabat RPB juga merasa ada sesuatu yang tidak enak yang Sahabat rasakan, Bagaimana jika membuat jurnal bersyukur seperti saya? Siapa tahu, hal tersebut membantu Sahabat untuk dapat melihat persoalan sehari-hari, dengan cara pandang baru. Bukankah orang bijak berkata, “Your life is so cool, when you’re looking it from the other side”?

Show 2 Comments

2 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *