Kalo lihat judulnya sepertinya tulisan ini ”berkekuatan” banget ya. Tapi bener lho, seorang wanita, di balik segala atribut yang sering ditempelkan pada diri seorang wanita, sebenarnyalah ia adalah makhluk yang sangat kuat. Contoh gampangnya saja dari rutinitas kesehariannya. Meskipun banyak lelaki sekarang yang berteriak juga tentang kesetaraan dan jender dengan membuktikan bahwa dia mampu membantu istrinya dalam pekerjaan rumah, tapi masih banyak juga dan ini yang saya lihat di kalangan masyarakat dengan kemampuan kelas ekonomi dan pedidikan seperti saya yang hanya lulusan SMA- lelaki yang sama sekali tak bersedia membantu pekerjaan istrinya. Kita andaikan si istri ini bekerja, sepulang kerja pasti dia juga yang memasak, menyetrika baju, mencuci pokoknya everything yang housewife things-lah, untuk keluarganya. Meskipun bisa di bilang mereka bekerja pada satu lokasi yang sama yang note bene si suami juga tahu bagaimana beratnya pekerjaan si istri di pekerjaannya.
Pandangan tentang pekerjaan ibu memang masih di anggap sepele, padahal kalo ditilik, mereka lah yang pertama kali akan membuka mata di pagi hari untuk keluarganya. Mereka pula yang kemungkinan terakhir menutup mata dalam keluarga tersebut. Belum lagi ketika kondisi keluarga memaksanya untuk keluar rumah. Saya mengenal seorang wanita, yang menurut saya sungguh perkasa. Beliau adalah salah seorang teman saya di Universitas Terbuka, meski kami tidak berada pada fakultas yang sama. Setiap pagi dia harus bangun pukul 3 pagi untuk menyiapkan sarapan, mencuci dan memasak untuk keluarganya. Dan jam 7 pagi dia sudah ada di jalan untuk berebutan kendaraan umum ke tempat kerja. Kadang disaat yang lain sudah memejamkan mata kelelahan, dia masih berjibaku dengan diktat kuliah.
Sering saya berpikir, bagaimana dia mengatur waktu istirahatnya? Di dalam tubuh yang kecil itu, ternyata tersimpan sebuah energi yang sangat besar. Sewaktu saya bertanya tak lelahkah ia dengan segala rutinitas yang ia jalani? Dia hanya tersenyum.
“Kalo aku jawab ga lelah pasti kamu bilang aku bohong kan?” Dia malah bertanya pada saya.
“Kadang aku ingin seperti yang lain juga. Pulang kerja nyantai di rumah, main sama anak-anak, ngobrol dengan suami atau sekedar ngrumpi bareng tetangga. Jam sembilan sudah bersiap untuk tidur dan bangun subuh sekedar untuk menyiapkan keperluan dan tenaga untuk untuk di kerjaan nanti. Tapi ada banyak hal di dunia yang memang sering terjadi di luar kehenak dan keinginan kita. Dan kita gak bisa protes selain harus menjalaninya. Ikhlas. Kurasa itu yang kita butuhkan.” ungkapnya panjang lebar.Ia pun melanjutkan, “Aku dulu juga sempat stress sampai sering aku bentak anakku sebagai pelampiasan ketidak berdayaanku. Tapi suatu hari aku pernah ngobrol dengan seorang ibu pendorong gerobak sampah. Dia bercerita bahwa diapun juga tidak ingin menjalani profesinya itu. Tapi apa hendak di kata, suami yang harusnya pencari nafkah keluarga menghilang tanpa kabar entah kemana. Sejak itulah aku selalu berpikir, masih lebih untung aku yang sering mempunyai banyak pilihan untuk di jalani. Sejak itulah aku berusaha untuk selalu ikhlas. Ikhlas di setiap apapun yang aku lakukan. Dan begitulah kekuatan itu datang begitu saja. Semua pekerjaan terlihat lebih mudah dan enteng,” tuturnya lagi panjang lebar. Dan ia menyodorkan secangkir kopi kepada saya.
“Nah, kalo yang ini, ini adalah salah sumber kekuatanku yang lain, “kata saya sambil menerima cangkir darinya. Hmm…harumnya.