Last Updated on: 28th April 2023, 12:00 am
Selain memiliki aset berupa terminal kontainer (JICT), di pelabuhan Tanjung Priok, Indonesia juga memiliki aset lain berupa terminal petikemas, yang banyak dikenal dengan nama Terminal Petikemas Koja.
Pengoperasian terminal petikemas Koja, sebetulnya merupakan kerjasama antara PT Pelindo II dan PT Ocean Terminal Petikemas; yang di kemudian hari berganti nama menjadi Hutchison Port Indonesia atau HPI.
TPK Koja, nasibmu kini
Diawal berdirinya TPK Koja sempat disebut sebagai Booming Port Asia Tenggara, karena memiliki semua fasilitas operasional yang terbaru. Sayang nasibnya kini sangat jauh berbeda.
Saat ini, ada indikasi pengkerdilan fungsi TPK Koja, baik dari segi marketing maupun kenyataan di lapangan. Misalkan dengan adanya alih fungsi sebagian lahan TPK Koja, seperti;
- Menyewakan sebagian lahan TPK Koja untuk lahan instalasi penyimpanan bahan bakar cair dan depo peti kemas milih PT Graha Segara
- Merencanakan (sekaligus mewujudkan) container yard milik PT JICT
- Pengabaian fasilitas TPK Koja seperti akses masuk jalan yang tidak layak (banjir saat hujan), dermaga anjlok, gedung kantor yang tidak layak ataupun posisi kantor yang sengaja dibiarkan antara tangki bahan bakar.
Ada apa dibalik upaya pengkerdilan TPK Koja
Di mata dunia internasional tidak ada nama PT JICT dan TPK Koja, mereka lebih mengenal Jakarta Container Port atau JCP.
Dengan alasan kemudahan transhipment, PT JICT melakukan rencana penyambungan Dermaga dan penyatuan gate maupun yard (lapangan penumpukan).
Untuk itulah, PT JICT berencana melakukan ekspansi besar-besaran dengan menggelontorkan dana sebesar US$ 166 juta . Dana tersebut digunakan untuk membeli 2 QCC Super Post Panamax Twin Lift, QCC Crane dan 6 RTG crane.
PT JICT juga berencana mampu menghandle petikemas sebanyak 3,2 juta TEus per tahun. Padahal selama ini jumlah peti kemas yang keluar masuk Tanjung Priok hanya sekitar 3 juta TEus. Sangat jelas adanya indikasi jika PT JICT ingin hanya ada satu terminal di Tanjung Priok.
Tidak mengapa jika PT JICT ini adalah milik kita bangsa Indonesia. sayangnya 51% sahamnya adalah milik PT Hutchison Ports Indonesia yang notebene merupakan investor asing.
Rencana penyatuan dan upaya pengkerdilan TPK Koja memperkuat dugaan agenda Hutchison Whampoa untuk memonopoli Pelabuhan Tanjung Priok dengan cara menyatukan dermaga JICT dan TPK Koja.
Status kerjasama operasional yang nyata merugikan negara
Dari uraian diatas, sangatlah jelas jika kerjasama operasional ini sebetulnya hanya merugikan negara.
Hutchison hanya berkepentingan untuk membesarkan PT JICT bahkan indikasi untuk memonopoli Pelabuhan Tanjung Priok semakin terlihat nyata.
Terlebih selama ini pihak Hutchison sering terlihat mengintervensi pengadaan dan penunjukan vendor juga supplier strategis TPK Koja. Hal ini tentu memperbesar peluang korupsi dan diangkutnya keuntungan negara ke luar negeri.
Ditambah dengan nasib para karyawan TPK Koja yang masih belum jelas. Meski telah ada addendum yang memungkinkan karyawan tetap TPK Koja menjadi karyawan di JICT, namun hingga saat ini status mereka masih terjangkau yang belum jelas ujung pangkalnya.
Waktunya memiliki kembali TPK Koja
Upaya monopoli yang dibungkus dengan praktek pengkerdilan saja, telah membuat terminal peti kemas ini kehilangan peran sebagai kompetitor yang baik di pelabuhan Tanjung Priok.
Kehilangan peran ini tidak hanya membahayakan aset negara, tapi juga membuat masa depan karyawan TPK Koja suram.
Hutchison hanya peduli mensejahterakan karyawan PT JICT, selama hal tersebut mampu membuat mereka menancapkan kukunya selama mungkin, dan membantu mereka melakukan monopoli atas Pelabuhan Tanjung Priok.
Karena itu sudah saatnya TPK Koja mencari orang tua angkat baru.orang tua yang tidak hanya peduli pada keuntungan namun juga memiliki semangat nasionalisme dan bersedia memikirkan karyawan demi kesejahteraan bersama.
Bantuan Serikat Pekerja bersama jaringan internasional-nya untuk berperan aktif mencari orang tua angkat baru sangatlah diperlukan terlebih bila pihak Pelindo II masih takut dan malas dalam menentukan sikap positif terhadap TPK Koja.
Pendekatan terhadap kementerian dan lembaga terkait khususnya Kementerian BUMN dan Komisi 3 DPR RI harus intensif dilakukan mengingat telah terjadi ekses yang tidak menyenangkan akibat penyimpangan dari privatisasi ini.