Jam sudah menunjukkan pukul 14.45 WIB, Hana masih terlihat malas untuk bangun dari tidurnya. Padahal 15 menit lagi ia harus ada di kelas bimbingan membaca. Tidak seperti hari biasanya, siang ini adalah kelas pengganti setelah beberapa hari Hana tidak masuk kelas karena sakit.
“Adik mau sekolah, nggak?”
Akibatnya, Hana pun mulai merajuk. Kakinya ia pukul-pukulkan ke lantai. “Ah”, “Uh” mulai keluar dari mulutnya; kesal. Mungkin ia ingin ke sekolah, tapi di satu sisi ia juga malas dan terlalu capek untuk bangun.
“Bicara yang jelas, orang tidak akan tahu apa mau Adik kalo cara bicara adik seperti itu!”
Saya sengaja menegaskan apa yang menjadi keinginannya, agar ia lebih memahami apa yang dipikiran atau yang ia rasakan. Buat Hana, Alhamdulillah cara ini lebih efektif dari pada saya marah-marah dan sekedar bilang “Maunya apa sih?!”
Seusai berkata seperti itu, saya pindah ke kamar lain sambil pura-pura baca buku. Saya ingin tahu kira-kira apa yang hendak ia lakukan. Ternyata, merajuknya tidak juga berhenti.
Setelah itu, saya tinggalkan Hana lagi, dan balik pura-pura baca. Meski mata saya masih menikmati buku “Geek in High Heels” tapi hati saya galau setengah mati.
Apakah cara saya ini salah? Apakah nanti Hana tidak akan semakin merajuk? Bagaimana kalau pergi saja ke sekolah? Tapi apa nanti Hana akan paham dengan konsekuensi?
Jadi emak tu, mungkin memang seperti itu, ya? Di satu sisi, ingin tegas, ingin anaknya tahu aturan, tahu konsekuensi; tapi di sisi lain juga kawatir, apakah cara yang dipilih salah atau tidak, apakah akan meninggalkan trauma dan sebagainya. dan seterusnya.
Sementara di luar sana, tangis Hana mulai terdengar. Isakannya terdengar antara ingin dilepaskan, tapi juga ingin ia tahan. Menurut saya seperti orang tertekan.
Sekitar sepuluh menit, sambil menangis terdengar suara Hana
“Sini, sini. Ibu sini.”
“Ada apa?’
“Hana mau makan nasi.”
Bhaaa… Saya telan lagi senyum yang hendak mengembang, menjaga perasaan Hana. Dan segera menghidupkan kompor untuk menggoreng lauk.
Saya sedang mengiris lauk, ketika ia mendekat. Saya letakkan sendok dan merentangkan tangan.
“Apa?” tanya Hana.
“Mau peluk?”
Dan ia pun menghambur dalam pelukan saya.
Ternyata benar kata banyak pakar parenting, kids need to be alone and being heard sometimes.
Dibanding kita mencak-mencak, dan meminta ia menghentikan tangisnya, lebih baik bantu ia mengenali perasaannya, mengurutkan masalah yang membuatnya kesal, dan ijinkan ia untuk mengatasi perasaannya.
Sore hari, menjelang sholat, saya bertanya padanya, apa yang membuat ia menangis dan kesal. Dan dugaan saya ternyata benar;
“Aku capek, tapi aku juga mau sekolah. Aku masih ngantuk, PR-ku belum selesai. Jadi, aku kesel.”
“Oh, oke, jadi nanti mau gimana?”
“SMS bu Siti, Hana minta maaf, tidak sekolah. Besok saja aku sekolah. PR aku selesaikan hari ini.”
Okay, noted Bos!
Dan … selesailah drama hari ini.
kata suamiku, "Jangan kalah sama ank, tegas diawal tapi kalau anak butuh kita lembutkan" ah meleleh aku bacanya ummi
karena anak bukan robot dan mesin ya, mbak, jadi kita ngadepinnya memang harus pakai hati.
Iya betul mbak anak juga butuh waktu sendiri untuk mencari imajinasinya sendiri karena tidak hanya anak orang dewasa saja butuh waktu sendiri untuk mencari imajinasi, kalau saya mah alhamdulillah mbak semasa kecil diajarkan untuk hidup mandiri jadi sekarang berasa juga didikannya.
Betul mas, karena didikan orangtua, diakui atau tidak, pasti juga akan mempengaruhi gaya pendidikan mereka kelak saat menjadi orangtua.
sekolah itu bagiku adalah hal yg membosankan, rutin, gak ada tantangan baru, hehe.. sama nih kaya Hana, dilema ya nak.. well kamu dan mama tetap hebat apapun itu kondisinya ๐
thanks for your story mak