“Ibu, apa aku boleh beri warna campur-campur untuk gambar pohon ini?”
“Ibu, apa aku boleh minum dulu?”
“Ibu, hari ini apa aku boleh keramas?”
Sering merasa kesel nggak sih, kalau setiap menit si kecil seolah meminta persetujuan dari kita terus? Nggak hanya hal-hal umum, tapi sampai yang kecil-kecil termasuk kebutuhan pribadinya pun ia minta persetujuan.
Di satu sisi, putri saya ini memang sudah cukup mandiri untuk menentukan kegiatannya sehari-hari; tapi kadang dia masih juga ragu untuk menentukan apa yang harus dia pilih.
Fine she just 7 yo, she still has a long time to learn. And nobody’s perfect too, tapi … entah kenapa saya merasa kok ada sesuatu yang harus saya koreksi ya. Standar aturan di rumah yang kurang jelas; atau saya tipe Helicopter Parents? Sering over protective sehingga anak kurang berani membuat keputusan sendiri?
Sejak jadi ibu, saya memang sering mendapat nasehat dari para sesepuh; bagaiamana seharusnya saya mendidik anak dengan benar. Sebisa mungkin kegiatan saya menyesuaikan dengan kebiasaan anak. Tujuannya agar saya bisa mengawasi putri kecil saya sepanjang waktu.
Intinya, sebisa mungkin anak jangan sakit, jangan nangis, jangan sampai kelaperan, dan “jangan-jangan” lainnya.
Dulu si, ya nurut begitu aja, selalu berusaha ngepasi semua kegiatan dengan ritme Hana. Menjaga ia sebaik mungkin, sampai doi keluar dari karpet main dan ngerondang di lantai pun, nggak saya ijinkan. 😑
Tapi sejak ikut nulis untuk Asian Parent Indonesia, sering ketemu dan membaca referensi parenting, pandangan saya ini mulai berubah. Tidaklah baik, mendahulukan kepentingan anak dan meletakkan hidup kita setelah hidup anak.
Anak-anak juga perlu belajar mengatasi masalah, rasa tidak nyaman, juga melihat bagaimana kedua orangtuanya tumbuh setelah mendapat masalah.
Karena itu, tiap kali mendapati putri saya ragu-ragu atau tingkah lakunya sepertinya kurang pas, saya biasanya teringat kesalahan mendidik anak yang pernah saya lakukan dulu.
10 kesalahan orangtua dalam mendidik anak
Orangtua yang hidup di jaman sekarang, biasanya sudah banyak teori parenting, dan itu membuat mereka sudah punya teori-teori tertentu untuk mendidik anak. Begitu juga saya.
Tapi, karena saking banyak teori (dan referensi), ingatnya kadang hanya sebagian, hanya headlinenya saja, tidak teori keseluruhan. Akibatnya, hal ini sering menimbulkan kesalahan mendidik anak yang seharusnya tidak orangtua lakukan
Saya pribadi punya daftar 10 kesalahan mendidik anak yang pernah saya lakukan. Dan sungguh, seandainya bisa memutar waktu, saya benar-benar tidak ingin melakukannya.
Putri saya lahir setelah saya menikah 4 tahun. Ia pun menjadi cucu pertama di keluarga besar saya dan suami, jadi begitulah, she’s all the world to us.
Kecenderungan memperlakukan anak sebagai “pusat hidup orangtua”, sepertinya menjadi trend saat ini. Terlebih pemahaman “anak wajib tumbuh bahagia”, kadang malah disalah artikan dengan mengkondisikan anak dan lingkungan sesuai kemauan anak.
Menjadikan anak pusat hidup hanya akan menumbuhkan anak yang egois, karena ia tahu, “hanya dengan menunjuk ia sudah akan mendapatkan segalanya”.
Anak-anak lahir memang untuk dicintai, tapi tidak berarti menjadikan mereka pusat hidup kita. Rasa cinta yang kita miliki seharusnya tidak hanya melindungi mereka saat ini, tapi juga masa depan mereka. Cinta kita seharusnya mempersiapkan mereka menghadapi tantangan, tidak untuk menyelesaikan setiap masalah mereka.
Kesalahan #2, Anak kita paling sempurna
Setiap anak memang lahir sempurna, dengan kelebihan dan kekurangannya. Pandangan kesempurnaan akan bermasalah jika kita menganggap anak kita tidak punya kekurangan sedikitpun.
Saya ingat ketika seseorang pernah menyebut putri saya lengus (ini bahasa indonesianya apa ya?), caper, dan canggung saat bermain.
Kebiasaan menjadi “pusat segalanya” dirumah, ternyata juga terbawa saat di luar rumah. Putri saya mudah ngambek, nangis, dan tidak mudah berbaur dengan teman-temannya.
Padahal lebih baik mengetahui kekurangan anak sedini mungkin agar koreksi bisa segera dilakukan.
Wajar jika jengkel ketika dilapori anak suka mukul atau mudah ngambek (we’re human anyway), tapi jangan sampai membuat kita lupa untuk melihat permasalahan dengan jernih.
Ingat memperbaiki karakter anak akan lebih mudah dilakukan saat ini dibanding kelak ketika mereka telah remaja atau dewasa.
Kesalahan #3, Menggunakan anak untuk “balas dendam” pada masa lalu
“Dulu aku selalu menjadi nomer dua karena pemalu, jadi sekarang anakku ga boleh pemalu, agar ia bisa jadi nomer satu”
Pernahkah berpikir seperti itu, Sahabat? Saya sering … dulu.
Kita sering menganggap anak sebagai kesempatan kedua untuk hal-hal yang dulu tidak kita miliki. Walhasil, kita memperlakukan anak seperti yang kita inginkan. Kita buta melihat potensi anak, karena “dia adalah kita yang baru”.
Memperlakukan anak seperti ini hanya akan membingungkan anak. Anak bisa kehilangan jati diri karenanya.
Kesalahan #4, Lebih suka menjadi BFF anak dibanding menjadi orangtua
Pengennya ni, kita tetep menerapkan aturan, no smoking, no playing around after 6 PM, no short dress, dan sederet “No No” lainnya; plus … anak kita tetap sayang, tetep nurut tanpa ngeyel, tetep bilang “My Parents are the best parents all the world” etc …
Sayang, kenyataan seringnya malah bertolak belakang. Perbedaan latar belakang, kemajuan jaman, karakter, pengalaman, malah sering kali menghadirkan jarak yang nggak bisa dijembatani.
Mereka ngambek kalau kita sudah menyodorkan aturan. Bilang hobinya mengintrogasi, saat ditanya hendak pergi kemana, nama temanmu siapa, … Saat dapat masalah pun bukannya nyariin orangtua tapi malah curhat ke teman, mbah Google, Instagram atau Line.
Sementara kita yang kawatir tidak bisa mengjangkau anak, akhirnya mengubah strategi; berusaha menjadi teman mereka. Teman yang merasa tidak enak kalau menegur, teman yang selalu berusaha mendukung meski sebetulnya pilihannya salah, dan seterusnya.
Sebetulnya, tidak ada yang salah untuk menjadi teman anak; tapi caranya yang harus tepat. Orangtua, tetaplah orangtua. Dan jika ingin menjadi teman anak, jangan pernah lepaskan label orangtua dari dada Anda.
Kesalahan #5, Bersaing dengan sesama orangtua
Waktu denger ibu muji-muji sepupu Hana yang sudah pandai menghitung, hati saya rada geregetan. Kata ibu di sekolah reguler kan diajari jarimatika, enggak cuma baca.
Huaa…saya pun langsung panik, cuss nginbok temen yang guru matematika, dan tanya-tanya “Is it okay to enroll Hana on such courses?”
Orangtua tu memang paling gampang baper kalau udah urusan seperti ini. Kawatir anak kita ketinggalan pelajaran, kalah persaingan, masa depan nggak sukses, and so on.
Kita lupa, setiap anak itu unik, punya bakat masing-masing; bisa saja ia sukses dibidang A, tapi gagal di bidang B. Tidak salah untuk terus membantu anak mengasah bakat dan minat; selama yang menjadi ukuran bukanlah kepandaian atau keberhasilan orang lain.
Anak-anak juga perlu belajar bagaimana untuk memenangkan persaingannya sendiri, dengan caranya sendiri, tidak selalu harus orangtua yang menunjuki jalan.
Dan yang lebih penting lagi, saat anak-anak masih dalam masa bertumbuh, sebaiknya dahulukan mengasah karakter sebelum mengasah ketrampilan-ketrampilan hidup lainnya.
Kesalahan #6, Tidak mengijinkan anak untuk menikmati masa kecilnya
Saat putri saya masih berusia tiga tahun, saya sibuk mencarikan lembaga les tari dan senam lantai, hanya gara-gara melihat hobi joget dan keleturan tubuhnya. Pikir saya, jika bisa dioptimasi dari usia dini, mengapa tidak?
Untunglah rencana itu gagal, karena di tempat tinggal kami sekarang tidak ada kursus minat bakat seperti itu.
Saya lupa, jika hobi anak masih bisa berubah. Saya lupa jika tugas saya adalah memberi stimulasi untuk mengenalkannya pada banyak ketrampilan hidup.
Kekawatiran agar anak kita sukses sejak dini, tanpa kita sadari bisa saja membuat anak kehilangan masa kecilnya. Menjadwalkan les tambahan, kursus minat bakat, sibuk dengan berbagai kompetisi bisa mengurangi waktu anak untuk mengekplorasi hal lainnya.
Akan lebih baik jika kita menyadari bahwa segala sesuatu ada masanya. Kita perlu membiarkan anak untuk tumbuh dan mengeksplorasi dunianya sendiri tanpa takut gagal dan stres.
Kesalahan #7, Membesarkan anak yang kita inginkan, bukan yang kita miliki
Selama ini saya banyak bertemu dengan orang sukses, dan rata-rata dari mereka, adalah orang-orang yang pandai memanfaatkan waktu. Apalagi ketika ketemu bu Indari yang sukses mendidik putrinya menjadi seorang enterprenuer cilik yang tentu, jago ngatur waktu.
Jadi, saya mulai ngikutin jejak Beliau, ngajarin Hana manajemen waktu. Tapi semua hanya tahan satu minggu. “Aku bosan ibu!”
Begitulah, kadang kita lupa, kita membuat mimpi-mimpi untuk anak kita, dan belum tentu mimpi itu mereka inginkan. Tugas orangtua hanya membimbing anak menemukan mimpinya, mengeksplorasi apa yang menjadi kekuatannya, dan kemudian menghantarkannya menuju cita-cita.
Kesalahan #8, Lebih banyak bicara tapi lupa menjadi role model
Sedari kecil saya sudah mengajari Hana untuk berlaku sopan, membiasakan kata “terima kasih”, “permisi”, “maaf” dan seterusnya. Dan Hana memang seorang followers sejati, semarah apapun, ia masih bisa bilang “Permisi, Hana nggak mau ayah deket-deket!”
Sayangnya kami malah sering lupa. Kami malah sering berkata “Awas, minggir” dibandingkan “permisi” 😕.
Kesalahan #9, Mudah menghakimi orangtua lain, termasuk juga anaknya
Dulu tu, kalau lihat temen sebel atau ngomel-ngomel karena anaknya, saya sering (dalam hati) bilang, “Ya, elu si, ngedidiknya nggak bener”, “Ih, kau dia tega si ngomelin anaknya seperti itu”, “Harusnya anak segedhe gitu udah nggak disuapin kalau makan” ….
Tapi sekarang sudah insyaf kok, sungguh! 😁
Seberapa pun kita tidak setuju dengan cara mengasuh tetangga atau teman kita, tidak pada porsi kita untuk menghakimi. Tidak ada di dunia ini yang “semuanya baik” dan “semuanya buruk”. Kita adalah paduan dari kedua hal itu.
Kita tidak pernah tahu, apa yang mendasari tetangga atau teman kita memilih gaya kepengasuhan yang berbeda. Selama model kepengasuhan tersebut tidak menyakiti anak, akan lebih baik bila kita juga tidak mudah menghakimi.
Kesalahan #10, Menyepelekan pendidikan karakter
“Sudahlah, nanti gedhe juga akan berubah”
“Nanti kalau gedhe juga akan ngerti sendiri”
Hal yang paling saya inginkan dari putri saya adalah karakter positif yang kuat. Kekuatan dasar yang bisa menjadi energi untuk segala hal, segala bidang.
Karena itu saya paling sebel kalau dengar komentar seperti diatas. Penting bagi anak untuk bisa menghargai oranglain seperti ia menghargai dirinya sendiri. Dan itu tidak akan tercipta begitu dia besar. Karakter haruslah dipupuk sejak dini. Bahkan guru sekolah Hana bilang, karakter anak harus dibentuk sebelum ia berusia 7 tahun.
Salah satunya, dengan membiarkan mereka merasakan ketidak nyamanan, sesekali mendengar kata “jangan”, “tidak bisa”, juga “tunggu”.
Tidak mudah memang melihat anak kita kecewa, tapi percayalah kekecewaan itu akan membuat mereka belajar dan akan membangun karakter mereka lebih kuat.
Stok cinta kita pada anak-anak memang tidak ada batasnya, tapi jangan sampai hal tersebut membuat kita lupa dan untuk menyiapkan mereka menghadapi masa depannya.
Oya, dari kesepuluh daftar kesalahan mendidik anak itu, adakah kesalahan yang juga pernah Sahabat lakukan? Harapan saya si, tidak ada 😃. I believe you’re a great parents, right?
All of pictures are taken from pexels.com except for the last one
BEberapa di poit atas, pernah aku lakukan hiksss…
tdk banyak bicara dan menjadi rol model kayaknya penting juga
ya memang seharusnya begitu. tapi anamanya juga manusia, banyak lupanya dari ingatnya he he he
Ayo mbak, koreksi. Mumpung kita masih diberi waktu
menjadi Teladan yang baik buat keluarga dan anak memiliki dampak yang sangat berarti ……
Penting nih poin2 di atas sebelum anak sya lahir..jadi ortu memang pemeblajar seumur hidup ya mbak
huhuhu…banyak PR nih… makasih mbak sharingnya, banyak yang harus aku benahin…banyak lupanya wkwkwk